
SONY Sugema mengaku
mengawali karirnya sebagai “pengusaha” bimbingan belajar ketika duduk di kelas
dua SMU Negeri 3 Bandung saat berusia 15 tahun. Ketika itu, ayahnya meninggal
dunia sehingga Sony harus bekerja untuk menghidupi ibu dan keempat adiknya. Ia
lalu memberi les privat kepada teman-teman sekelasnya.
“Soalnya saya nggak
tahu harus ke mana nyari orang yang mau les privat. Saya tawarin ke
teman-teman, mau nggak lima ribu sebulan. Ternyata beberapa teman saya mau,”
kata Sony. Dia memang dipercaya teman-temannya untuk mengajar, mengingat
otaknya yang cerdas.
Setelah mengajar
teman-temannya di SMU, Sony mengaku ketagihan mengajar dan merasa tertarik
dengan dunia pendidikan. “Awalnya saya tertarik, ngajar itu kok enak. Terus,
tiap minggu di SMU 3 ada try out dan pembahasan, itu gratis. Itulah awal mula
saya terjun ke dunia bimbingan belajar,” ujar Sony.
Tahun 1982, Sony lulus
tes masuk ke Institut Teknologi Bandung (ITB) Jurusan Teknik Sipil. Ketika dia
masih tingkat satu, Sony memutuskan untuk menikah. Saat itu istrinya kuliah di
jurusan Biologi ITB dan berumur sekitar tiga tahun lebih tua.
Setelah menikah, Sony
merasa tanggungannya semakin banyak. Akhirnya, untuk menambah penghasilan, dia
memutuskan untuk menjadi guru di SMU Angkasa Bandung. Ketika itu Sony mengajar
pelajaran matematika, fisika, dan kimia untuk siswa kelas satu, dua, dan tiga.
“Setelah itu, saya
bekerja sebagai pengajar di beberapa bimbingan belajar. Baru pada tahun 1990
saya memutuskan untuk membuka bimbingan belajar sendiri,” kata Sony.
Cikal bakal Sony
Sugema College (SSC) ini awalnya terletak di Jalan Dipatiukur. Modal awal
pendirian bimbel ini hanya Rp 1,5 juta, yang diperoleh Sony dari pembayaran
royalti buku-bukunya. Sony Sugema memang pernah menulis buku tentang pembahasan
soal-soal UMPTN yang setiap tahun selalu diperbaharui.
Awalnya murid
bimbingan belajar ini hanya 140 orang dan Sony satu-satunya pengajar. Uang
sebesar Rp 1,5 juta itu, kata Sony, digunakannya untuk menyewa ruangan tempat
belajar sebesar Rp 750.000 dan sisanya untuk membayar gaji karyawan. Bimbingan
belajar ini awalnya hanya mengkhususkan diri sebagai bimbingan belajar intensif
untuk menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN).
Lama kelamaan, Sony
merasa bahwa dirinya lambat laun tidak bisa menikmati hasil jerih payahnya
karena terlalu sibuk bekerja sebagai pengajar tunggal. Akhirnya, dia memutuskan
untuk meminta teman-temannya dari ITB, UNPAD, dan IKIP (sekarang UPI) untuk
membantunya mengajar di bimbingan belajar tersebut.
Tahun 1991, dia
membuka cabang di Jakarta disusul cabang-cabang di seluruh Indonesia. Lembaga
bimbingan belajar ini berhasil meluluskan 618 orang siswanya ke ITB. Jumlah
ini, kata Sony, menunjukkan hampir separuh mahasiswa ITB merupakan lulusan SSC.
Ketika ditanya apa
yang membedakan SSC dengan bimbingan belajar lain, Sony mengaku dia menerapkan
dua sistem pengajaran. Sistem yang pertama, kata Sony, dia menciptakan sistem
penyelesaian soal dengan cepat yang diklaim sebagai the fastest solution.
Fastest solution, kata
Sony, adalah cara belajar agar pelajaran lebih mudah dipahami oleh siswa.
Apabila siswa mudah memahami pelajaran, siswa akan lebih bersemangat untuk
belajar.
Selain fastest
solution, Sony juga memiliki metode lain, yaitu learning is fun. Dengan metode
ini, kata Sony, siswa akan lebih bergairah dan bersemangat dalam mempelajari
pelajaran-pelajaran yang selama ini dianggap menakutkan seperti matematika dan
fisika.
“Sebelumnya banyak
siswa yang geuleuh (tidak suka) sama matematika. Sekarang, dengan metode ini,
kita membuat anak mencintai matematika,” kata Sony.
Dengan kedua metode
pengajaran tersebut, mau tidak mau pengajar yang berminat untuk menjadi guru
SSC harus memenuhi sejumlah kriteria. Di antaranya, selain menguasai bahan
pelajaran yang akan diajarkan, pengajar juga tidak boleh terlalu serius dan
dapat diterima oleh siswa.
Sebelum menjadi
pengajar pun, kata Sony, mereka harus melewati beberapa tes. Ujian yang pertama
adalah tes tertulis untuk mengetahui seberapa jauh calon pengajar menguasai
materi pelajaran yang diajarkan. Setelah itu, mereka diharuskan melakukan
simulasi mengajar di depan guru-guru SSC. Setelah magang selama tiga bulan,
barulah calon pengajar tersebut diangkat menjadi pengajar tetap.
Gaji yang diterima
para pengajar cukup memadai, berkisar antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 setiap
jam mengajar. “Kita kan harus memperhatikan kesejahteraan guru-guru,” kata
Sony.
Selain berkat doa dan
kasih sayang ibu, Sony mengaku salah satu kunci kesuksesannya yang lain adalah
dia berani untuk gagal. Kelemahan yang terdapat pada sebagian besar anak muda,
kata Sony, adalah karena sebagian besar dari mereka takut gagal. Padahal, kata
Sony, dengan kegagalan kita bisa belajar banyak
“Perusahaan besar saja
pernah gagal. Namun, umumnya orang tidak pernah melihat kegagalan sebelum
kesuksesan yang mereka raih sekarang,” kata Sony. Dia juga menilai anak muda
sekarang umumnya tidak mau bersakit-sakit dalam memulai suatu usaha.
Sony memang berhasil
mengembangkan bisnisnya-yang semuanya masih di bidang pendidikan-hingga menjadi
empat perusahaan.
Tidak heran jika dia
menerima penghargaan dari ITB sebagai Penghargaan Alumni ITB Berprestasi tahun
2002 dalam bidang industri. Sebelumnya, Sony memperoleh penghargaan Citra Top
Executive Indonesia tahun 1997 dan 50 Enterprise Semangat Wirausaha Indonesia dari
majalah SWA dan Accenture.
Serius dan berkemauan
keras memang salah satu falsafah hidupnya. Hasilnya, dia sukses pada usia muda.
Pepatah mengatakan, di mana ada kemauan di situ ada jalan.